Langsung ke konten utama

Kepalsuan Relativisme Postmodern

Muriwali Yanto Matalu


POSTMODERNISME
Postmodern adalah era setelah era Modern, dan juga mengacu kepada satu filsafat yang merupakan perlawanan terhadap filsafat Modern. Salah satu hal yang penting untuk kita ketahui mengenai perbedaan kedua filsafat ini adalah masalah kemutlakan dan relativitas. Filsafat Modern menerima dan mempercayai adanya kebenaran yang bersifat mutlak dan obyektif. Sedangkan filsafat Postmodern menerima dan mempercayai bahwa kebenaran bersifat relatif.
Tentu saja penerimaan filsafat Modern akan kebenaran yang bersifat mutlak dan obyektif sejalan dengan iman Kristen. Namun satu perbedaan yang tidak mungkin terseberangi adalah bahwa filsafat Modern mengacu atau menjadikan diri (manusia) sebagai titik referensi utama, sedangkan iman Kristen mengacu atau menjadikan Allah sebagai titik referensi utama. Perbedaan semacam ini persis terjadi juga dengan gerakan renaissance yang bersifat humanis dengan gerakan reformasi yang bersifat teosentris pada beberapa abad yang lampau.

BUNUH DIRI RELATIVISME POSTMODERNISME
Tiga kepalsuan dari filsafat Postmodern sebagaimana saya nyatakan di bawah ini yakni kontradiksi dari relativisme, kontradiksi dari penolakan Postmodern terhadap metanarasi, dan kontradiksi dari pemahaman Derida bahwa sebuah teks tidak memiliki makna tunggal, sudah saya muat di dalam buku Dogmatika Kristen, Dari Perspektif Reformed.1

Slogan ”Tidak ada kebenaran mutlak” merupakan sebuah kontradiksi
Postmodern menolak obyektivitas dan universalitas kebenaran. Segala kebenaran bersifat relatif dan subyektif (benar hanya untuk individu atau komunitas tertentu yang memegang kebenaran tersebut). Slogan filsafat Postmodern adalah: ”Tidak ada kebenaran mutlak.” Mari kita menguji pernyataan ini dengan hukum non-kontradiksi. Mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak akan memunculkan dua hal yang saling berkontradiksi. Hal pertama, bahwa tidak ada kebenaran mutlak (sesuai dengan isi pernyataannya). Hal kedua, bahwa pernyataan itu sendiri adalah mutlak (bukankah bagi orang Postmodern itulah satu-satunya kebenaran, yakni bahwa tidak ada kebenaran mutlak?) Jadi pada waktu yang sama dan di dalam pengertian yang sama pernyataan itu memunculkan ketidakmutlakan sekaligus kemutlakan.
Ilustrasi berikut menggambarkan kontradiksinya dengan jelas. Ravi Zacharias pernah membongkar irasionalitas Postmodern, yakni berkenaan dengan gedung kesenian di Ohio State University. Newsweek mencap gedung itu sebagai gedung dekonstruksi yang pertama. Dikatakan bahwa gedung itu perancahnya berwarna putih, menaranya dari bata merah, dan bagian-bagian yang ditanami rumput Colorado mengundang kekaguman. Tetapi kita semakin menjadi bingung apabila kita memasuki gedung, karena di dalamnya kita menemui tangga yang tidak menuju kemana-mana, tiang-tiang yang tanpa tujuan menggantung dari langit-langit, dan permukaan yang bersudut-sudut yang sengaja dibuat untuk menciptakan rasa vertigo. Sang arsitek mengatakan bahwa gedung ini mencerminkan kehidupan tak menentu dan membingungkan.2 Mendengar hal itu, Ravi Zacharias menanyakan apakah fondasi gedung juga dibuat seperti itu? Bukan main! Tentu, fondasi gedung tidak bersifat dekonstruksi bukan? Jika demikian, gedung itu akan rubuh.

Ketika postmodern menolak metanarasi, pada saat yang sama menjadikan dirinya metanarasi baru
Di samping menolak kebenaran mutlak, Postmodern juga menolak metanarasi (narasi-narasi/kisah-kisah besar) yang mempercayai makna atau kebenaran tunggal. Narasi-narasi besar yang ditolak oleh Postmodern antara lain Modernisme, Naturalisme, dan ilmu pengetahuan modern (modern science) dan juga metanarasi-metanarasi religius seperti Kristen dan Islam. Sebagai contoh, mengenai asal mula terjadinya alam semesta ini, apakah yang benar hanya metanarasi Alkitab Kristen atau metanarasi penciptaan Islam, atau metanarasi filsafat Naturalisme? Menurut Postmodernisme narasi-narasi besar tersebut di atas saling memutlakkan dirinya, dengan cara menolak semua narasi-narasi kecil yang hidup dalam komunitas-komunitas. Karena itu filsafat Postmodern merupakan penolakan atas metanarasi dan memberikan ruang sepenuhnya bagi narasi-narasi kecil. Lyotard, seorang filsuf postmodern, dalam kata pengantar sebuah bukunya berkata:

...kita definisikan “pascamodern” sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi. Tidak diragukan lagi ini merupakan dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan, namun kemajuan pada gilirannya memang mengharuskan demikian. Pada keusangan sistem metanarasi, legitimasi terutama sekali berhubungan dengan krisis filsafat metafisika, dan juga institusi universitas yang bergantung padanya. Fungsi naratif kehilangan fungsi-fungsinya, pahlawan-pahlawan besar, bahaya-bahaya besar, perjalanan-perjalanan besar dan tujuan besar. Ia tidak hanya menghilangkan elemen metafisika dari bahasa naratif, tetapi juga denotatif, preskriptif, deskriptif, dan lainnya. Masing-masing mengendalikan dirinya sendiri secara pragmatis. Kita seakan hidup dalam persimpangan, dengan banyaknya hal seperti itu. Kita tidak merumuskan kombinasi-kombinasi legitimasi yang kokoh dan penting, kepemilikan kita rumuskan sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan.3

Ada dua hal penting yang saya harus tanyakan kepada Lyotard. Pertama, jika narasi postmodern menghilangkan elemen metafisika, denotatif, preskripsi, dan deskriptif, maka mengapa kalimat-kalimat Lyotard di atas mengandung unsur metafisika (karena di dalamnya tidak menyatakan tentang kuantitas dan materi) dan juga mengandung unsur denotatif, preskriptif dan deskriptif? Tanpa unsur metafisika, denotatif, preskriptif dan deskriptif, maka pernyataan Lyotard di atas tidak ada maknanya sama sekali.
Kedua, dalam tulisannya tersebut Lyotard berkata bahwa postmodern tidak merumuskan kombinasi-kombinasi legitimasi yang kokoh dan penting dan kepemilikan dirumuskan sebagai sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan. Jika demikian mengapa dia menulis untuk mengkomunikasikan sesuatu yang tidak penting untuk dikomunikasikan?
Dan yang harus saya tambahkan adalah, ketika Postmodern menolak semua metanarasi dan mengakomodasi narasi-narasi kecil, dengan sendirinya semangat dan prinsip Postmodern ini menjadi semacam metanarasi yang baru. Lagi pula, jika Postmodern menolak proyek besar Modernisme, maka dengan sendirinya Postmodernisme menjadi proyek besar lainnya, dan dengan demikian tujuannya untuk menghancurkan “perjalanan besar” Modernisme tidak tercapai karena dengan sendirinya diganti dengan “perjalanan besar” Postmodernisme. Tetapi bedanya adalah bahwa perjalanan besar Modernisme hendak membawa dunia ini kepada utopia yang tidak mungkin tercapai, sedangkan perjalanan besar Postmodernisme hendak membawa dunia ini kepada ketidakbermaknaan.

Menyatakan bahwa sebuah teks tidak memiliki makna tunggal, menggugurkan pernyataan itu sendiri
Salah satu ciri Postmodernisme adalah filsafat Dekonstruksi (post-strukturalis) yang dipelopori oleh Derida, yang merupakan perlawanan terhadap kaum Strukturalis. Mengenai strukturalisme Spivak mengatakan:

Strukturalisme adalah mengisolasi struktur umum aktivitas manusia. Jadi strukturalisme yang akan saya bicarakan ini mencakup bidang studi sastra, linguistik, antropologi, sejarah, sosio-ekonomi, psikologi. Struktur ialah sebuah unit yang terdiri atas beberapa elemen yang terdapat di dalam relasi yang sama pada ”aktivitas” yang sedang dideskripsikan. Unit tersebut tidak bisa dipilah-pilah menjadi elemen-elemen terpisah, karena kesatuan struktur tidak ditentukan oleh hakikat substantif elemen-elemen, akan tetapi oleh hubungan antarelemen tersebut.4

Pernyataan kaum strukturalis tentang keobjektifan struktural didasarkan pada pembedaan antara subjek dan objek. Mereka berkata bahwa objek ditemukan dan dijelaskan oleh subjek. Tujuan dari segenap aktivitas strukturalis, apakah refleksif atau puitik, adalah merekonstruksi objek dengan cara sedemikian rupa hingga dapat memperlihatkan peran dan fungsi objek.5 Nah, Derida mempermasalahkan kemungkinan adanya deskripsi objektif.6
Dalam hal pembacaan sebuah teks, dekostruksi percaya bahwa sebuah teks tidak memiliki arti tunggal tetapi memiliki arti yang banyak. Derida menolak bahwa bahasa memiliki arti tetap yang berhubungan dengan realitas yang tetap, atau bahwa bahasa menyingkapkan kebenaran yang pasti. Ia ingin menarik kita menjauh dari konsep modern (yang mengatakan bahwa sebuah teks memiliki makna tunggal) dan membawa kita menuju kepada kemungkinan-kemungkinan ”hermeneutika” terhadap kata-kata tertulis, kemungkinan-kemungkinan yang muncul ketika kita memulai percakapan dengan teks-teks tersebut.7
Berdasarkan pemahaman Derida tersebut, orang-orang postmodern mengatakan bahwa teks itu dapat berubah, tidak memiliki asal-usul yang pasti, identitas dan akhir. Proses menafsirkan teks tersebut tidak pernah berakhir dengan sebuah kesimpulan; setiap pembacaan teks tersebut adalah pendahuluan untuk pembacaan berikutnya8
Mari kita mengambil pemahaman dekontrusksi Derida mengenai teks tersebut untuk mengkritisinya. Filsafat Dekonstruksi percaya bahwa tidak ada makna tunggal dalam sebuah teks. Perhatikan penjelasan Stanley Grenz di bawah ini:

... Meaning is not inherent in a text itself, they argue, but emerges only as the interpreter enters into dialogue with the text. And because the meaning of a text is dependent on the perpective of the one who enters into dialogue with it, it has as many meanings as it has readers (or readings).9

Terjemahannya:

Makna tidak melekat di dalam teks itu sendiri, kata mereka, tetapi muncul hanya ketika penafsir (pembaca-pen) masuk ke dalam dialog dengan teks itu. Dan karena makna dari sebuah teks adalah bergantung kepada perspektif dari seseorang yang masuk ke dalam dialog dengannya, teks itu memiliki makna sebanyak pembacanya (atau pembacaan).

Mengacu kepada penjelasan Grenz di atas, pandangan dekonstruksi berkata bahwa arti sebuah teks tidak bergantung kepada teks itu sendiri, tetapi muncul ketika penafsir (pembaca) berkontak dengan teks tersebut. Karena arti dari teks tersebut bergantung kepada pembaca teks tersebut, maka teks itu memiliki arti atau makna yang banyak sebanyak pembacanya. Dengan demikian dekonstruksi menolak makna tunggal sebuah teks.
Tetapi jika tidak ada makna tunggal dalam sebuah teks, maka bagaimana kita dapat mengerti maksud Derida ketika menyatakan bahwa, ”Tidak ada makna tunggal dalam sebuah teks”? Saya percaya bahwa Derida bermaksud agar teori dekonstruksinya dimengerti dari sudut pandang Derida sendiri, dan ini mutlak membutuhkan makna tunggal. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pernyataan Derida itu sendiri asumsinya adalah memiliki makna tunggal. Jika tidak demikian, bagaimana Derida berharap bahwa pembaca tulisannya dapat memahami apa yang dimaksudnya? Saya percaya bahwa seluruh tulisan Derida memiliki makna yang dia inginkan agar pembacanya pahami. Di sini kita kembali melihat sebuah kontradiksi.

1 Muriwali Yanto Matalu, Dogmatika Kristen, Dari Perspektif Reformed (Malang: GKKR, 2013) 34-40

2 Ravi Zacharias, Can Man Without God (Batam: Interaksara, 1999) 51.

3 Jean-Francois Lyotard, Postmodernisme, Krisis dan Masa Depan Pengetahuan (Jakarta: Teraju, 2004), di bagian kata pengantar.

4 Gayatri Chakravorty Spivak, Membaca Pemikiran Jacques Derida, Sebuah Pengantar (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2003) 107.

5 Ibid. 111-112.

6 Ibid. 111.

7 Grenz, Stanley. J., A Primer On Postmodernism (Grand Rapids: Wm.B. Eerdmans, 1996) 141

8 Ibid. 146.

9 Ibid 6.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Profil Muriwali Yanto Matalu (MYM)

Muriwali Yanto Matalu (MYM) adalah seorang penulis serta pendiri dan ketua Yayasan Gerakan Kebangunan Kristen Reformed (GKKR), juga p endeta di Gereja-Gereja Reformasi di Indonesia (GGRI).  Saat ini sedang riset Ph.D. dalam bidang teologi sistematika di Theologische Universiteit Utrecht (dulu namanya TU Kampen), Belanda. Supervisors: Prof. Dr. Hans Burger, Prof. Dr. A.L. Th. (Ad) de Bruijne (Theologische Universiteit Utrecht), Prof. Dr. Joke Van Saane (Vrije Universiteit Amsterdam). Subyek: “Emotions in the Thought of Jonathan Edwards and Sarah Coakley: A Comparison.” Menyelesaikan S1 teologi di STT Salem, Malang, 2006.  Menyelesaikan M.A. dalam bidang teologi (Master of Intercultural Reformed Theology – MIRT) di Theologische Universiteit Utrecht, Belanda, 2016. Articles in Journals: 1. "The Significance of the Propositional Truths in Christian Faith." Verbum Christi   Vol. 3, No. 1 (2016): 71-89. 2. "The Significance of the Van Tillian Method in Apologetics w

Apa Itu GKKR?

GKKR (Gerakan Kebangunan Kristen Reformed) dimulai oleh Muriwali Yanto Matalu beberapa bulan sebelum menyelesaikan program sarjana teologi di STT SALEM Malang, tepatnya pada tanggal 6 Maret 2006. Gerakan ini adalah satu gerakan kebangunan teologi sistematika dan apologetika Reformed yang dikombinasikan dengan penginjilan, kebangunan rohani, dan mandat budaya. GKKR adalah yayasan berbadan hukum dan terdaftar di Kemenkumham. VISI & MISI Kami melihat bahwa kondisi Kekristenan saat ini baik di dalam iman sejati, pengetahuan akan kebenaran firman, maupun kehidupan moralnya, sungguh sangat menurun. Teologi Liberal masih bercokol di dalam gereja-gereja tertentu dan penekanan pada emosi secara ekstrim di dalam Gerakan Kharismatik menghasilkan kekacauan doktrin sehingga melemahkan iman Kristen yang sejati. Bangkitnya Gerakan Zaman Baru ( New Age Movement ) yang bersifat panteis, yakni percaya bahwa segala sesuatu adalah allah, dan filsafat postmodern yang memaksa kemutlakan kebenaran Alla

Pembelaan Terhadap Doktrin Tritunggal

Oleh: Muriwali Yanto Matalu Makalah ini disajikan di dalam acara Dialog Lintas Agama yang diadakan pada hari Sabtu, 8 Maret 2014, di Universitas Widya Gama Malang. Tema: Menguji Keabsahan Teologis antara Tauhid dan Tritunggal. PENDAHULUAN Pertama-tama saya akan menyatakan posisi saya di dalam dialog ini, bahwa dialog semacam ini hanya bermanfaat jika kita lakukan dengan satu prinsip yang benar. Prinsip itu adalah prinsip toleransi. Apakah toleransi itu? Penganut paham pluralisme baik dari pluralisme Kristen atau Islam atau Hindu dan Budha, mengatakan bahwa semua agama adalah sama. Jika semua agama sama maka marilah kita tidak usah ribut-ribut dan marilah kita bekerja sama. Inilah toleransi bagi mereka. Namun toleransi semacam ini saya tolak dengan tegas. Ini bukan toleransi, tetapi satu kompromi yang mengorbankan dan bahkan memperkosa hakekat masing-masing agama. Islam menegaskan Tauhid. Kristen percaya kepada Allah Tritunggal. Hindu meyakini Brahman (pada hakekatnya perjuang